Kamis, 31 Maret 2011

DOA KAYA DAN PINTAR

DOA KAYA : BEKERJA KERAS. DOA PINTAR : BELAJAR.
Tadi malam saya kedatangan tamu. Seorang teman yang sudah lama tidak bersua. Bukan teman jauh hanya tetangga desa. Tapi pertemuan kali ini memberi kesan yang mendalam. Mungkin dikarenakan intensitas pertemuan kami yang jarang, sehingga ada perasaan rindu yang saling menggelayuti atau topik pembicaraan kami dimalam itu yang memang mengasyikan.
Teman ini datang ke rumah tepat disaat azan isa’ berkumandang. Ia muncul didepan pintu dengan sosoknya yang tambun sambil mesam-mesem persis seperti orang yang mau minta derma. Setelah duduk ia utarakan maksud dan kedatangannya kerumah. Disampaikan minatnya agar masjid yang ada di perumahan kami bersedia ditempati acara Dzikrul Ghofiliin –suatu ritual dzikir- yang ia aktif terlibat didalamnya. Kontan saja ia saya ajak ke pengurus takmir masjid sekaligus menemui ketua rw selaku penanggung jawab masjid.
Selesai urusan, saya dijamu makan disebuah warung yang mirip gerbong kereta api. Tiga godo tempe langsung saya lahap, -maklum sejak sore belum makan- sebagai hidangan pembuka. Tepat pukul setengah sebelas malam, setelah semua makanan sudah ludes kami sikat, saya diajak kerumahnya. Dari jarak puluhan meter sudah terpampang jelas sebuah bangunan besar dan mewah. Saya sempat bergumam dalam hati, “kok cek dak pantese yo pemiliknya model gembolo2 ngono omae yo mentereng”. Namun buru-buru saya tepis, dengan logika yang rasional. Seseorang dengan kinerja dan pola pikir seperti temanku ini, sangat masuk akal dan wajar bila bisa mencapai semua itu.
Ia ceritakan, rumah yang ditempati beserta keluarganya tersebut adalah sebuah “gift atau hadiah”. Ia tidak berambisi membangun sebagus itu. Bahkan pada saat seorang arsitek menyodorkan desain bagan rumah, teman ini menyatakan tidak memiliki dana untuk merealisasikannya. Ia hanya mempersilahkan sang arsitek memulai tugasnya dan membiarkan waktu yang akan menjawabnya. Sepintas lucu juga wak kaji yang satu ini, ia mengatakan tidak mempunyai duit, waktu akan membangun rumah. Tapi nyatanya, pembangunan rumah tersebut bisa rampung tanpa kendala yang berarti. Itulah mengapa ia menyebut rumah yang dihuninya sebagai sebuah hadiah. “saya mencoba mengekang setiap keinginan. Saya hanya menjalani kecenderungan-kecenderungan, sama seperti air.” begitu ia tuturkan memulai perbincangan kami dimalam itu.
Omongan seperti ini yang saya suka dari dia. Seringkali ia berbicara dengan gaya filosofis seakan ingin merangkum pengalaman hidupnya menjadi sebuah kalimat indah. Namun tutur bahasa yang ia kemukakan banyak yang belepotan yang tidak jarang pendengar malah bingung dibuatnya. Alih-alih ingin terlihat intelek malah yang tampak in TELEK!!!. Haha…. Ojo moreng-moreng yo ji.
Hal ini mudah dimaklumi mengingat kawan ini bukanlah seseorang dengan latar belakang intelek dengan segudang prestasi akademik. Ia hanya seorang biasa yang mau belajar dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya. Tak heran ketika ia berbicara dengan bahasa nasional negaranya, acapkali gagap dan canggung. Namun sesungguhnya makna yang tersirat dalam ucapanya benar-benar luar buasa. Ini yang membuat saya sering rindu dan senang tatkala bercengkerama dengannya –meski begadang menjelang subuh, seperti malam itu.
Banyak ungkapan filosofis -terkadang juga absurd- keluar dari mulut kawan tercinta ini. Barangkali ia ingin mengintisarikan lalu mengomunikasikan pengalaman hidup yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang mandiri, kukuh dalam bersikap dan percaya diri dalam bertindak. Paling tidak ini bisa dilihat tatkala ia mengatakan DOA KAYA adalah KERJA KERAS. DOA PINTAR atau CERDAS adalah BELAJAR.
Seseorang yang ingin hidupnya bekecukupan (baca: kaya) haruslah bekerja keras, banting tulang demi memujudkan keinginannya tersebut. Jangan melulu membanggakan atau mencela kesuksesan seseorang. NATO : no action talk only hanya isapan jempol belaka. Kunci dasar dalam setiap usaha adalah lakukanlah (just do it) niscaya berbuah hasil (duit).
Dalam salah satu tayangan talk show kick andy, Dahlan Iskan pernah ditanya sang presenter mengenai penyebab penyakit yang membuat CEO grup Jawa Pos itu ganti hati adalah dikarenakan dimasa mudanya, ia terlalu bekerja keras. Sehingga kerja keras yang dilakoninya selama puluhan tahun tersebut menggerogoti hati –sampai sirosis-tanpa ia sadari. Bos PLN ini menjelaskan, penyebab penyakitnya bukan kerja keras, melainkan KEMISKINAN. Kemiskinan yang menderanya dimasa kecil inilah yang membuat keluarganya tidak mampu cublik atau imunisasi hingga virus hepatitis B menyerang hatinya. Ia menolak anggapan orang bahwa kerja keras menjadi factor penyebab penyakit. Justru kerja keras tetap ia lakoni sampai sakarang –bahkan setelah menjalani transplantasi hati dan menjadi Dirut PLN.
Seorang yang ingin pintar dan cerdas haruslah bersedia belajar. Dengan belajar orang yang asalnya tidak tahu menjadi tahu. Yang tadinya tidak mengerti menjadi mengerti. Dengan tahu dan mengerti muncul sikap yang mandiri. Ia menjadi faham, bisa memilah dan memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Tidak gampang menciptakan blunder, tidak susah mencari jalan keluar. Setelah kesadaran akan diri terealisasi, muncul sikap yang tegas. Kukuh berpendirian, tidak mudah diombang-ambingkan oleh sesuatu yang menyesatkan. Pada gilirannya ia akan menjadi pribadi yang percaya diri. Hati dan kaki menghunjam ke bumi akal pikiran melesat keangkasa. Tidak takut jatuh, tidak minder bila gagal, tidak bosan mencoba dan bangkit. Halangan, rintangan, risiko dan hambatan adalah hal lumrah yang selalu menyertai dalam setiap perjalanan.
Inilah DOA. Hakekat dari doa adalah perbuatan bukan ucapan semata. Terima kasih teman. Terima kasih atas waktu yang diberikan. Dan terima kasih untuk tetap menjadi SAHABAT. (mbrebes mili isun nulis kalimat seng terakhir iki). WASSALAM, junior 31 maret 2011. Tetap ikuti www.merinagold.blogspot.com.

Selasa, 29 Maret 2011

UNTUK SEBUAH NAMA

UNTUK SEBUAH NAMA
Sampai huruf pertama ini diketik, perasaan saya masih ingin tertawa. Betapa tidak, tulisan berikut melulu mengenai diri dan keluarga, namun ingin saya bagi bersama (sharing). Dari pemberian nama anak sampai pergumulan kami –maaf bukan porno- selaku pasutri akan menghiasi paragraf demi paragraf dalam tulisan ini. Semoga para pembaca –jika ada- tidak dibuat boring dan menganggap narsis gitu loo…mumpung ide sudah terpegang, sekalian saja jemari menari diatas keyboard. Sukur-sukur ada yang terinspirasi. (dorong2 wes narsis).
Anak kami dua. Yang pertama bernama MUHAMAD ZAMRONI ABIDIN JUNIOR (persis nama bapaknya minus junior) biasa dipanggil IYONK. Yang kedua bernama MERINA KHUMAIR biasa disapa INA. Tidak sama sih dengan nama ibunya-YUANA-, namun bila dipanjangkan ceritanya bisa saling bertautan. Ketika iyonk lahir banyak orang bertanya, ihwal pertanyaannya seputar pemberian nama. “kok namanya seperti nama bapaknya, apa gak ada lagi nama yang lebih bagus?” begitu barangkali pikir mereka. Saya sih cengar-cengir saja. Bahkan tatkala kakeknya mempertanyakan hal serupa saya malah balik bertanya, “lha apa nama itu kurang bagus, yah? Kan ayah sendiri yang memberi nama pada saya. Ketika nama itu saya wariskan pada cucu kakek, sah-sah saja kan?”. Hehe…kadal di komodoin eit.. komodo di kadalin. Yang benar mana ya…
Kebanyakan orang tua –terutama- laki-laki mengharapkan anak yang pertama lahir adalah anak laki-laki. Hal ini bukan tanpa alasan, Dinegeri yang menganut faham patrialis, seperti Indonesia, anak laki-laki adalah harapan dan tumpuhan. Ia diharapkan bisa menjadi penerus orang tua. Maaf, bukannya anak perempuan tidak bisa mengemban amanat tersebut, tapi perasaan tidak bisa dipungkiri. Contoh paling remeh adalah ketika sigadis ini beranjak dewasa dan sudah saatnya menikah. Si kecil yang dulu oleh bapaknya digendong seperti lagunya mbah Surip, kelak akan “digendong” oleh orang lain. Pada saat bersamaan nama yang disandang sudah bukan nama bapaknya melainkan nama suaminya. Nanti jika melahirkan, nama yang di pakai sang cucu bukan nama bapak si ibu,tetapi nama keluarga menantu si Bapak. Kacian deh..bapak.
Saya sendiri tidak memungkiri kenyataan ini. Ketika memberikan nama pada anak laki-laki pertama, saya dedikasikan kepada orang tua yang telah -memberikan nama yang baik- membesarkan dan mendidik saya dengan benar. Dedikasi yang kedua, ditujukan pada diri saya –selaku orang tua jabang bayi- dengan harapan saya bisa meneruskan langkah orang tua (baca:mengasuh,membesarkan dan mendidik) sang bayi. Disamping tujuan substansif dalam pemberian nama tersebut, ada juga tujuan yang sifatnya heboh semata.
Di tempat kita jarang lho orang tua yang memberikan nama ngeplek sama antara bapak dan anak. Paling-paling yang diambil nama depan atau belakangnya saja. Contoh, Sukarbadi, sukaryati atau sukartini. Dinamai demikian karna nama bapaknya adalah Sukar –tanpa 141. Atau Annisa Arifin, Afrizal Arifin karna nama bapaknya Samsul Arifin, misalnya. Di Arab, orang-orang disana jika memanggil nama seseorang, cukup dengan memanggil nama bapaknya, yaa…ibnu Umar… wahai anaknya Umar, bisa jadi yang dipanggil itu nama aslinya Paidi atau Paitun. Di AS, nama-nama besar yang melekat pada seseorang umumnya adalah gelar yang disematkan atas ketokohan ayahnya. John-john junior adalah anak mendiang presiden AS, John Fitzgerald Kennedy. Floyd Mayweather Junior –petinju yang pernah di proyeksikan bertarung dengan Manny Pacquiao sebagai mega duel “BATTLE of THE CENTURY” namun gagal- adalah anak Floyd Mayweather Senior.
Alasan ndakik lainnya adalah saya ingin membentuk TRAH. Pada saatnya nanti, juniorlah yang akan meneruskan nama bapaknya. Dialah yang berhak mewariskan nama MUHAMAD ZAMRONI ABIDIN JUNIOR II pada anak laki-lakinya. Begitu seterusnya dan seterusnya… simpelnya, garis keturunan tersebut akan tampak kelihatan. Jika dikomparasikan dengan kerajaan, anak turun junior adalah garis keturunan raja-raja –bukan lembu peteng. Haha… narsis bukan? Ya iyyalah…namanya juga pengharapan.
Bagaimana dengan Ina,-adik junior?. Pada saat dia dikeluarkan, (Ina dilahirkan lewat operasi ceasar lantaran posisi janin kala itu melintang) saya melihat bayi yang gemuk dan lucu. Saya pandangi otot-otot pipinya yang tampak jelas berwarna kemerah-merahan, persis warna otot pipi ibunya. Pikiran saya kala itu menerawang jauh dan berhenti pada sebuah dialek tatkala Rasulullah saw memanggil Siti A’isyah dengan panggilan kesayangan, “Yaa.. Khumairah….Wahai yang kemerah-merahan”. Jadilah panggilan kesayangan rasullulah tersebut menjadi nama belakang anak kami yang kedua.
Justru pemberian nama depan yang sedikit kocak. Jika merujuk pada pemberian nama anak pertama yang persis nama bapak, tentu akan adil jika anak kedua punya nama yang sama dengan nama sang ibu. Muncullah kemudian nama MERINA KHUMAIR yang artinya MERY yang kemerah-merahan. Klop sudah…kok bisa? Nama ibunya kan YUANA? Samanya dimana?
Dimasa pacaran dulu, saya sering mengejek nama isteri yang terlalu simple dan pendek. Batinku jeneng kok sak emprit atek ndeso pisan… yuana…gak uenaak ngono lho olehe nak kuping. Pantes2nya nama itu kan terdiri dari 2-3 kata biar enak didengar dan keren. Akhirnya, setuju tidak setuju didepan nama yuana saya tambahi MERY, menjadi MERYUANA. Persis nama tanaman illegal yang memabukkan. Dan memang sekali saya merasakan kehangatannya saya langsung dibuat mabuk kepingin lagi dan lagi….hahaha….KEMPRO!!. sampai sekarang orang-orang memanggilnya mery, jarang yang memanggil yuana, kecuali kerabat dekat. Sampai disini klop kan? Jadi, sebagai seorang suami, saya telah berbuat adil meski dalam hal pemberian nama anak.
Begitulah, Merina Khumair lahir sebagai perwujudan cinta kasih saya terhadap yuana. Ia adalah fakta hidup sanjungan dan dambaan seorang suami terhadap isteri. “Merina yang kemerah-merahan” kelak engkau akan dipanggil oleh suamimu, seperti rasullulah memanggil isteri beliau. Ini adalah doa seorang bapak pada anak gadisnya. Tiada kebahagiaan dan keindahan jika dicintai. Tiada kerugiaan dan kehampaan bila mencintai. Sebab cinta (khubb) adalah hakikat. WASSALAM, junior 29 maret 2011

MODEL PERHIASAN EMAS